ceo monitor

Rabu, 30 November 2011

PAHLAWAN DARI BETAWI


Pahlawan Nasional kelahiran Betawi kini menjadi dua orang setelah pemerintah menetapkan komponis dan pencipta lagu, almarhum Ismail Marzuki sebagai pahlawan nasional. Sebelumnya, Mohammad Husni Thamrin merupakan pahlawan nasional pertama kelahiran Betawi.
Penganugerahan Pahlawan Nasional disematkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kepada putri angkat almarhum Ismail Marzuki, Rachmi Aziah. Ahli waris Pahlawan Nasional itu berhak mendapatkan santunan dari negara Rp 600 ribu per bulan. Ismail Marzuki, yang namanya diabadikan untuk Taman Ismail Marzuki meninggal dunia 1958 dalam usia 44 tahun. Sedangkan istrinya, Lies Zuraedah meninggal 2002 lalu.
Selama hidupnya yang singkat, Bang Maing, sebutan populer Ismail Marzuki, telah menciptakan tidak kurang 200 lagu. Ada pula yang menyebutkan 300'an lagu dalam berbagai jenis irama. Sebagai seorang nasionalis relijius -- masa kecilnya mengaji di Unwanul Falah Kwitang - ia menciptakan lagu dengan setting perjuangan dari Sabang sampai Merauke. Seperti lagu ''Olele di Kotaraja' dan 'Irian Samba'.
Ismail, merupakan sosok Islam moderat yang istiqomah menggali dan mengamalkan Islam sekaligus mendalami seni. Ini dapat kita resepi dari karyanya Gugur Bunga, Indonesia Tanah Pusaka, dan masih banyak lagi. Karena lagu 'Rayuan Pulau Kelapa' yang diciptakan pada 1950'an, Bung Karno memberikan penghargaan Piagam Wijayakusuma kepadanya.
Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB), Rusdi Saleh, atas nama warga Jakarta dan Betawi khususnya menyatakan penghargaan kepada pemerintah atas anugerah ini. Warga Betawi merasa tersanjung dengan penghargaan Pahlawanan Nasional kepada salah seorang putra terbaiknya.
Menurut Rusdi, perjuangan untuk menggolkan Bang Maing sebagai pahlawan nasional telah dikumandangkan sejak 20 Mei 2003 pada peringatan wafatnyua Bang Maing di TPU Karet Bivak. Jakarta Pusat. Kemudian di follow up-kan oleh Permata (Persatuan Masyarakat Jakarta) dan mendapat respon positif dari gubernur Sutiyoso. Kemudian pada 7 Juli 2004 LKB membentuk kelompok kerja (Pokja) yang terdiri dari Rusdi Saleh, dr Atje Muljadi, Prof Dr Budyatna, Kris Biantoro, Ebet Kadarusman, Ridwan Saidi, dan Alwi Shahab. Pokja ini berjuang untuk menjadikan Ismail Marzuki sebagai pahlawan nasional.
Selain menuntut agar Ismail Marzuki diberi penghargaan gelar Pahlawan Nasional, LKB juga menuntut agar Jalan Prapatan antara jembatan Kwitang sampai Tugu Petani di kiri kanannya diganti menjadi Jl Ismail Marzuki. Mereka juga mengusulkan agar dibangun patung Ismail Marzuki di samping patung Muhammad Husni Thamrin di Jl Thamrin. Pemerintah DKI Jakarta telah mendirikan patung Jenderal Sudirman di Jl Sudirman dan merencakan membangun patung pahlawanan nasional Diponegoro, di Jl Diponegoro, Jakarta Pusat.
Ketika Ismail Marzuki diusulkan sebagai pahlawan nasional, usulan ini telah mendapat dukungan dari para seniman dan pejuang kemerdekaan. Termasuk Yusuf Ronodipuro, mantan dubes RI di Argentina dan sekjen Deppen. Keduanya berjuang bersama saat mendirikan RRI pada masa perjuangan fisik. Menurut Yusuf, pada 1946 ia bersama Ismail naik kereta ke Yogyakarta. Ketika tiba di stasion Yogya pada senja hari, melalui jendela KA Ismail menyaksikan pemandangan yang mengharukan. Dan terciptalah lagu ''Sepasang Mata Bola''
Masih dalam rangka mengenang komponis legendasris ini, menurut Rusdi, LKB merencanakan untuk mendirikan Ismail Marzuki Award. Akan memberikan hadiah dan penghargaan kepada para pencipta lagu berprestasi tiap tahunnya.

BANG MA’ING, PAHLAWAN DARI BETAWI
Kampung Kwitang, 11 Mei 1921. Di sebuah rumah yang sebagian dindingnya terbuat dari papan lahir seorang bayi mungil. Bang Marzuki yang tengah menantikan kelahiran putranya ini memberinya nama Ismail. Di rumah petak (kini Jl Kembang IV/97, Kwitang) inilah Ismail dibesarkan. Tapi,
Ismail tak lama mendapatkan kasih sayang ibunya karena meninggal ketika ia baru berusia tiga bulan. Ismail benar-benar menjadi tumpuan kasih sayang ayahnya. Karena dari ketiga kakaknya hanya Hamidah yang hidup.
Kedua kakaknya, Yusuf dan Yakub, meninggal saat dilahirkan. 
Ismail yang kemudian mendapat nama sapaan Bang Maing ini tumbuh menjadi sosok cerdas dengan bakat musikal yang kental. Lagu-lagu ciptaannya tak lekang digerus masa dan dikagumi hingga ke manca negara. Namanya kemudian diabadikan sebagai sebuah tempat para seniman, pemikir, dan penikmat seni budaya mengekpresikan dirinya, yaitu Taman Ismail Marzuki (TIM) di Cikini, Jakarta Pusat. Ismail memang tumbuh dan hidup tak jauh dari Cikini. Menurut salah seorang kerabatnya di Kwitang, keadaan rumah Ismail yang kini ditempati seorang Cina) kini sudah jauh berbeda. Dulu di depannya terdapat teras tempat Ismail bermain musik dan mencipta lagu. Rumah itu terletak sekitar 40 meter dari Masjid Kwitang.

Di samping masjid itu dulunya terdapat sebuah madrasah Unwanul Falah yang dipimpinan Habib Ali Alhabsji. Di tempat ini Ismail kecil mengaji petang hari setelah pagi harinya sekolah di HIS (SD zaman Belanda) Idenburg di kawasan Menteng. Pengaruh pendidikan agama ini tidak saja menyebabkan Ismail dapat menguasai Alquran dengan baik, tapi juga punya budi pekerti dan akhlak yang baik pula. Ayahnya yang taat pada agama dan hampir tak lepas dari tasbih semula tak berkenan Ismail jadi anak wayang (sebutan negatif saat itu pada orang yang aktif berkesenian).
Tapi, ia tak dapat membendung hasrat Ismail yang gila musik. Sejak kecil anak ini sudah keranjingan lagu dan sanggup berjam-jam mendengarkan gramophone yang oleh orang Betawi disebut mesin ngomong. Akibatnya, pada usia 17 tahun dan masih bersekolah di MULO (SMP) Ismail sudah mampu mengarang lagu Sarinah (1931). Pengalamannya sebagai santri Habib Ali Kwitang banyak mempengaruhi pola pikirnya. Ia menjadi sosok Islam moderat dengan istiqomah menggali dan mengamalkan Islam serta sekaligus mendalami seni. Dari nilai-nilai keagamaan dan nasionalisme yang diperolehnya tak pernah membuatnya absen ikut berjuang untuk negeri tercinta ini. Ini dapat kita resapi dalam lagu karyanya seperti Gugur Bunga, Indonesia Tanah Pusaka, dan masih banyak lagi. Tidak hanya sebagai pencipta lagu, Ismail pun mahir memainkan sejumlah alat musik.
Kemampuannya dalam menyanyi pun tak diragukan. ini dibuktikannya ketika menjadi penyanyi belakang layar untuk film Terang Bulan. Dalam film yang diproduksi tahun 1930-an ini, Bang Maing menyanyi untuk aktor Rd Mochtar. Terang Bulan, seperti dikemukakan seniman dan pimpinan Sinemateks Indonesia, SM Ardan, merupakan film yang sukses kala itu. Selama hidupnya yang singkat meninggal 1958 dalam usia 44 tahun Ismail telah menciptakan tidak kurang 200 lagu. Ada pula yang menyebutkan 300-an lagu dalam berbagai jenis irama. Ia meninggalkan seorang istri, Eulis Zuraidah (meninggal 2002), mojang Priangan yang dinikahinya pada 1941. 
Dan seorang anak angkat, Rachmi Aziah. Rayuan Pulau Kelapa, lagu yang diciptakan Ismail pada 1944, dikagumi bukan saja di dalam negeri, tapi mancanegara. Karena keindahan lagu ini lantas Bung Karno memberikan pengahargaan Piagam Wijayakusuma kepadanya. Karena kiprahnya sebagai seniman dan budayawan besar yang ikut menggelorakan perjuangan bangsa melalui lagu-lagu perjuangan, Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) pada 7 Juli 2004 lalu telah membentuk kelompok kerja (pokja) untuk mengusulkan Ismail Marzuki sebagai Pahlawan Nasional. Para anggotanya Dr H Atje Mulyadi, Rusdi Saleh, Prof. Dr. Budyatna, Ebet Kadarusman, Krim Biantaro dan Alwi Shahab. 
Selain menuntut agar Ismail Marzuki diberi penghargaan gelar Pahlawan Nasional, menjelang Hari Pahlawan Nasional 10 Nopember 2004, LKB juga menuntut agar Jalan Parapatan antara jembatan Kwitang sampai tugu Betawi, dikiri kanannya diberi nama Jl Ismail Marzuki juga. Mereka
mengusulkan pula agar di ujung taman Jl Kwitang Raya dekat Toko Buku Gunung Agung didirikan patung komponis besar ini. Sejauh ini Gubernur Sutiyoso mendukung usulan ini. Tapi, hingga kini belum mendapat respon dari Departemen Sosial sebagai lembaga yang berwenang. Dukungan yang
sama juga dikemukakan sejumlah seniman, budayawan dan tokoh masyarakat. Termasuk Yusuf Ronodipuro, mantan dubes RI di Argentina dan Sekjen Deppen. 
Yusuf Ronodipuro yang kini berusia diatas 80 tahun ini mengaku mengenal Ismail Marzuki sejak 1943 pada masa pendudukan Jepang. "Saya dan Ismail semakin akrab waktu pindah ke radio militer Jepang di Merdeka Barat yang bernama Hozo Kyeku," kata mantan Kepala RRI Pusat itu. Lagu Halo-Halo Bandung yang menurut Yusuf merupakan gubahan Ismail Marzuki ini telah menggetarkan semangat juang para pemuda saat mendengar bait ajakan Mari Bung rebut kembali. Lagu ini menjadi abadi hingga kini. "Berbeda dengan lagu-lagu sekarang yang merengek-rengek terus nggak ada isinya. Waktu itu, hasil karya Ismail Marzuki sangat kita butuhkan untuk dapat mengisi semangat perjuangan," ujarnya. Menurut Yusuf, pada 1946 ia bersama Ismail Marzuki naik kereta api ke Yogyakarta. Ketika tiba di stasiun Yogya pada senja hari melalui jendela KA, Ismail menyaksikan pemandangan yang mengharukan. Ia pun mengabadikan pemandangan itu, dan jadilah lagu berjudul Sepasang Mata Bola.

MUHAMMAD HOESNI THAMRIN DAN PASAR ASEM REGES
Pasar Asem Reges terletak di kawasan Sawah Besar atau Sao Besar kata orang Betawi. Untuk mencapai pasar yang telah berusia lebih satu abad ini, dari Jl Pecenongan kita menuju Jl Taman Sari (Jakarta Barat). Asem Reges kini terkenal sebagai salah satu pusat perdagangan suku cadang kendaraan bermotor di Ibukota.
Dulu pasar itu merupakan pusat perdagangan sepeda. Maklum sampai 1950-an sepeda merupakan salah satu alat transportasi utama di Jakarta. Para pegawai, dan terutama para murid dan mahasiswa, saat sekolah dan kuliah memakai sepeda. Termasuk nonton bioskop dan pergi ke tempat hiburan dengan pacar. Di tempat-tempat ini terdapat tempat penitipan sepeda.

Jl Asem Reges ketika saya datangi awal minggu ini sudah berubah jadi Jl Taman Sari Raya. Dulu Asem Reges jadi nama jalan tersendiri, untuk kemudian menyambung dengan Jl Taman Sari. Ini merupakan peggantian yang kedua kali. Karena pada masa Belanda Jl Asem Reges bernama Droossaerweg. Seperti juga Sawah Besar -- jalan utama di sebelahnya -- kini jadi Jl Sukarjo Wiryopranoto dan KH Samanhudi. Sekalipun demikian nama Sawah Besar tetap lebih populer sampai saat ini.
Dulu, di Asem Reges terdapat pabrik limun terkenal 'Lourdes'. Kala itu, Coca Cola, Pepsi, dan Fanta, belum ada. Pabrik ini memproduksi air Belanda yang kemudian terkenal dengan air soda. 
Di belakang pasar Asem Reges terdapat jalan yang hanya bisa dilewati satu mobil. Yakni, Gang Wedana (kini Jl Taman Sari II), Gang Arab (Jl Taman Sari IC), Gang Alfu (Taman Sari III), dan Gang Maphar (Jl Taman Sari IV). Sampai tahun 1960-an, banyak sekali keturunan Arab yang tinggal di kawasan ini.

Nama Jl Wedana menunjukkan bahwa di jalan itu pernah tinggal seorang wedana. Dan, sang wedana itu tidak lain Thamrin Moehammad Thabri, ayah pahlawan nasional asal Betawi, Mohammad Hoesni Thamrin. Thamrin Moehamad Thabri, seperti diuraikan cucunya H Nuh Thamrin dan keponakan Hoesni Thamrin, tinggal dibagian ujung Gang Wedana. Di rumah inilah, keluarga Thabri tinggal termasuk Hoesni Thamrin dan adiknya, Abdillah Thamrin.

Rumah tempat Thamrin dibesarkan itu kemudian menjadi Rumah Bersalin Sawah Besar, dan kini menjadi pertokoan. Ia diangkat jadi wedana tahun 1908 -- jabatan paling tinggi nomor dua untuk golongan bumiputera. Karena itulah, putera-puteranya dapat menikmati sekolah Belanda. Termasuk sekolah di Broeder dan KW Drie (kini Gedung Arsip Nasional di Salemba). KW Drie merupakan sekolah bergengsi pada masa itu, tidak sembarang bumiputera boleh sekolah di sana.
Di Gang Wedana, pada 1917, Thamrin Moehammad Thabri sebagai seorang yang telah menunaikan rukum Islam kelima, dan dididik dari keluarga taat beragama, mendirikan sebuah masjid yang diberi nama An-Nur. Masjid ini dibangun setelah ia pensiun pada 1911. 
Kini masjid yang dulunya mushola itu sudah menyatu di antara Gang Arab dan Gang Wedana. Masjid berlantai dua ini dapat menampung 1500 jamaah. Sementara adik M Hoesni Thamrin, Abdillah Thamrin, setelah bermukim selama selama 11 tahun di Mekah, diminta oleh ayahnya untuk mendampinginya mengelola masjid. Kini, masjid cukup besar yang letaknya berdekatan dengan warga Betawi yang masih tersisa itu ditangani oleh H Nuh Thamrin, putra Abdillah Thamrin. Luasnya 1200 meter persegi.

Banyak sekali kegiatan di masjid yang dibangun dan dikelola keluarga pahlawan nasional Hoesni Thamrin itu. Hoesni Thamrin selama masa remaja telah ditempa semangat nasionalis. Ia sering melihat ayahnya menerima tokoh Sayarikat Islam (SI) HOS Tjokroaminoto. Pahhlawan Nasional Mohammad Hoesni Thamrin dilahirkan 16 Pebruari 1894 atau tiga tahun lebih tua dari Bung Karno, kawan seperjuangannya. Tempat kelahirannya di kawasan Sawah Besar, yang kini hiruk pikuk selama 24 jam, kala itu masih terletak di pinggiran kota Batavia.
Pada masa itu, selama seperempat abad, Batavia telah ikut menjalin perkembangan teknologi dunia. Pada 1869 Terusan Suez dibuka hingga mempercepat hubungan dari Eropa ke Asia, termasuk Indonesia. Telepon kabel telah diperkenalkan di Betawi yang menghubungkan dengan daerah-daerah lain, di samping beroperasinya kapal-kapal uap menggantikan kapal layar. Demikian pula jaringan listrik dan gas dengan dibukanya pabrik gas di Jl Ketapang, dekat Sawah Besar. Jl Ketapang, yang kini diubah jadi Jl KH Zainul Arifin -- yang merupakan kampung kelahiran ibu Hoesni Thamrin, Nurhamah -- terletak di sebelah selatan pabrik gas.
Sementara pelabuhan Tanjung Priok yang menggantikan Sunda Kelapa telah mampu melayani kapal-kapal samudera 8 tahun sebelum kelahiran Husni Thamrin. Akibat mudah dan singkatnya pelayaran dari Eropa ke Batavia, tidak heran pada saat itu mulai banyak berdatangan warga Belanda totok. Penduduk Eropa di Batavia pada 1860-1870 meningkat dari 5.000 menjadi 49.000. Sepuluh tahun kemudian menjadi 60 ribu (Bob Hering dalam buku Mohammad Hoesni Thamrin).
Di Jalan Sawah Besar No 32, tempat tinggal Hoesni Thamrin setelah berkeluarga, ia menghembuskan napas terakhirnuya, setelah beberapa hari sebelumnya kediamannya diperiksa oleh reserse PID. Kediamannya itu kini menjadi ruko yang menjual suku cabang bernama Sumatek. Meninggalnya Thamrin dengan cepat menyebar ke seantero kota. Saat pemakaman Ahad (12/1-1941) keesokan harinya, puluhan ribu warga Betawi berbondong-bondong memberikan penghormatan terakhir kepada pahlawan Betawi yang selalu membela rakyat kecil itu.
Menurut Hering, yang menyaksikan prosesi pemakaman tidak kurang 20 ribu sampai 30 ribu rakyat. Mereka memberikan penghormatan ketika kereta jenazah melewati Sawah Besar, Harmoni hinngga TPU Karet. Di antara para ulama yang mengantar termasuk Habib Ali Kwitang, yang membacakan talkin. Tempat pahlawan nasional ini menghembuskan nafas terakhir, sebelum jadi ruko dan pertokoan, pernah menjadi Percetakan Siliwangi, milik Pak Kartasasmita, ayah mantan menteri pertambangan Ginanjar Kartasasmita.

Selasa, 29 November 2011

SEJARAH KALI CILIWUNG


JAKARTA mungkin satu-satunya kota di Indonesia yang mempunyai paling banyak sungai, yang membelah-belah wilayahnya dari selatan ke utara. Menurut perhitungan secara kasar, paling tidak ada 6-7 sungai. Di arah barat terbentang Kali Angke, Kali Krukut, Kali Grogol. Di tengah-tengah kota mengalir Kali Ciliwung. Di bagian timur kita menemukan Kali Gunungsahari dan Kali Sunter. Ada lagi Kali Besar yang menampung air Kali Krukut di ujung barat Jalan Pancoran (Medan Glodok) selewat jembatan Toko Tiga, Jakarta Kota dan membawanya terus mengalir ke arah barat, untuk akhirnya membelok ke utara.

Belum lagi anak sungai, terusan atau parit lebar yang menghubungkan aliran sungai yang satu dengan yang lain. Orang awam bisa pusing kalau mau menghitung atau menelusurinya satu demi satu.

Tempo doeloe jumlah itu lebih banyak lagi. Khususnya di bagian utara kota, yang oleh orang Belanda dinamakan beneden stad atau kota bawah, yakni daerah Mangga Besar ke arah utara. Kali Ciliwung yang mengalir lurus bagaikan garis mistar, membelok ke timur setibanya di seberang jalan Labu di Hayam Wuruk dan menumpahkan aimya ke Kali Tangki di sisi jalan tersebut.

Aliran Ciliwung itu pun masih terus lagi ke utara, menyusuri sisi timur Medan Glodok dan baru membelok ke timur setelah melewati gedung bioskop Pelangi, yang kemudian menjadi gedung pertokoan Harco. Sebagian lagi menumpahkan air ke Kali Besar yang pada masa itu. membentang dari timur ke barat, menyusuri jalan Pancoran (di seberang Glodok Building sekarang) sampai melewati jembatan Toko Tiga yang disebutkan di atas. Bagian Kali Besar yang menyusuri jalan Pancoran kini sudah tidak ada lagi, mungkin telah menjadi riol tertutup.

Mendiang ayah saya sering berceritera, bahwa semasa hidupnya sampai akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20, tepat di tengah-tengah jalan Kongsi Besar sepanjang jalur jalan yang kini menjadi lokasi kios-kios, pun dialiri sebuah sungai, Di masa remaja saya, kali di Kongsi Besar itu. sudah tidak ada. Hanya tinggal palang-palang pipa besi bergaris tengah kurang lebih 10 sentimeter, yang dulunya memagari kedua sisi sungai. Sungainya sendiri sudah menjadi lapangan tempat bermain anak-anak, terutama di sore hari.

Pada tahun 1944-1945 (zaman jepang) palang-palang itu dibongkar jepang bersama dengan palang palang serupa yang memagari seluruh tepi Kali Ciliwung. Konon semua palang itu diangkut ke jepang, karena industri perang jepang pada masa itu kekurangan bahan baku besi.

Kali Ciliwung diperjual belikan

Jumlah Kali-kali di Jakarta mencatat rekor di masa kekuasaan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC atau Kompeni di mulut rakyat). Orang Belanda pada masa itu sangat gemar menggali Kali-kali buatan yang mereka namakan gracht (jamak: grachten). Konon karena mereka rindu akan kota Amsterdam di negera asal mereka yang sampai kini masih terbelah-belah oleh banyak grachten.

Sementara itu ada juga kali yang dibuat pihak swasta dengan seizin Kompeni, bukan atas dasar rasa rindu tadi, melainkan demi pertimbangan komersial-ekonomis. Kali-kali atau grachten itu menghubungkan aliran sungai-sungai alamiah yang satu dengan yang lain. Sungai-sungai itu. merupakan sarana utama bagi angkutan barang-barang dagangan. Banyak sampan pengangkut barang-barang itu ‘potong kompas’ agar lebih cepat tiba di tempat tujuan. Dalam hal demikian, mereka memasuki kali-kali buatan tadi dan oleh pemiliknya (pembuat kali-kali itu) sampan-sampan tersebut diharuskan membayar tol. Tidak berbeda dengan keadaan sekarang, kalau kendaraan bermotor melewati jalan tol.

Bagian Kali Ciliwung yang lurus dari Harmoni ke utara, dulunya kali swasta dengan aturan bayar tol kalau melaluinya. Kali yang oleh orang Belanda dinamakan Molenvliet itu dibuat oleh kepala warga Cina (kapitein der Chinezen) di Betawi, Phoa Bing Ham. Orang Belanda menamakannya Bingam. Pada tahun 1648 Bingam mendapat izin dari Kompeni untuk membuat Kali tersebut dan memungut tol dari sampan-sampan yang lewat di sana.

Pada tahun 1654 Molenvliet diambil alih Kompeni dengan harga 1.000 real. Bingam, melepaskannya karena eksploatasinya tidak lagi menguntungkan, sehubungan dengan penggalian terusan-terusan baru oleh Kompeni sendiri.

Sampai pecah Perang Dunia 11, sejumlah jalan tertentu di bagian utara kota dikenal sebagai Amsterdamschegracht (kini jalan Tongkol), Leeuwinnegracht (kini jalan Cengkeh), Groenegracht (kini Jalan Kali Besar Timur Ill) dan sebagamya. Hal itu menunjukkan bahwa pada zaman Kompeni, di sana terbentang Kali-kali buatan.

Pancoran: Pemasok Air Minum

Di samping berfungsi sebagai sarana penanggulangan banjir dan angkutan barang, sungai-sungai itu “tempo doeloe” juga menjadi sumber air minum utama bagi warga kota. Sampai abad ke-19 air Kali Ciliwung dipergunakan oleh orang-orang Belanda di Betawi sebagai air minum. Air kali itu mula-mula ditampung (dalam semacam waduk waterplaats atau aquada). Lokasi waduk itu semula dibangun dekat benteng Jacatra di bagian utara kota kemudian dipindahkan ke tepi Molenvliet sekitar daerah Medan Glodok yang sekarang.

Waduk air itu dilengkapi dengan pancuran-pancuran kayu yang mengucurkan air dari ketinggian kira-kira 10 kaki (kurang lebih 3 m). Kemudian daerah sekita lokasi waduk dinamakan Pancuran, yang di lidah orang Betawi menjadi Pancoran. Dari sana air diangkut dengan perahu ole para penjual air (waterboeren) dan dijajakan ke kota.

Tampaknya pengertian masyarakat tentang higina dan kesehatan pada masa itu masih sangat terbatas. Air Kali Ciliwung itu diminum begitu saja tanpa proses penjernihan seperti yang sekarang dijalankan oleh PAM.

Hal itu sempat menimbulkan problem kesehatan yang serius pada masyarakat Belanda. Pada abad ke- 18 dan dasa warsa pertama abad ke-19 itu, penyakit disentri, typhus, bahkan juga kolera, merajalela di antara mereka. Sebagai penyebabnya disebut air Kali Ciliwung tadi.

Buku Dr. de Haan mengetengahkan bahwa tentang hal terakhir itu sempat timbul perbedaan pendapat di kalangan para ‘ahli’ Belanda. Ada ‘ahli’ yang menyatakan pada tahun 1648 bahwa air Ciliwung sangat baik (voortreffelljk). Mungkin memang demikian halnya selagi daerah-daerah di pinggiran kota, di arah hulu kali, masih penuh hutan tanpa penghuni. Ketika kemudian pembukaan hutan-hutan dan penggarapan tanah semakin meluas, dan pemukiman makin meningkat, air Kali pun semakin tercemar. Pada tahun 1689 seorang ‘ahli’ lain mencatat bahwa air yang keluar dari pancuran waduk di Pancoran sangat keruh, balikan berlumpur di musim hujan !

Sekitar tahun 1685 seorang ‘ahli’ lain lagi tegas-tegas mengatakan bahwa di dalam air itu terdapat binatang-binatang halus’ yang tak tampak mata (onzichtbare beesjes). ‘Binatang-binatang halus’ yang tentu tak lain dari kuman-kuman itu akan mati kalau. air dimasak sebelum diminum, seperti yang biasa dilakukan orang-orang Hindoestanners (yang dimaksud tentu orang-orang India) dan orang-orang ‘pribumi’ lainnya.

Hal ini pada hakikatnya suatu petunjuk yang jelas bahwa kesehatan dapat terpelihara lebih baik jika orang minum air matang. Lebih-lebih karena pada tahun 1661 sudah ada laporan dari Banjarmasin bahwa orang-orang Belanda di sana menganut kebiasaan mengendapkan air minumnya satu hari dan kemudian memasaknya. Namun demikian orang-orang Belanda di Betawi masih belum yakin.

Teh dan Tempayan

Sementara itu seorang dokter bernama Thunberg menemukan kenyataan, bahwa orang-orang Cina di Betawi yang sehari-hari biasa minum teh, ternyata jarang atau tidak pernah dihinggapi penyakit-penyakit tersebut di atas. Thunberg berkesimpulan bahwa pencegahan penyakit itu bukan soal pemasakan air, tetapi khasiat daun teh!

Seorang ‘ahli’ terkemuka lebih hebat lagi pernyataannya. Air Ciliwung pada hakikatnya tidak seburuk yang dibayangkan orang, asal bisa melupakan sama sekali segala yang biasa dilemparkan ke dalam kali itu. Bayangkan, orang dianjurkan untuk menyingkirkan dari ingatan bahwa Ciliwung antara lain berfungsi sebagai jamban umum.

Anehnya, tidak pernah terlintas dalam pikiran orang-orang Belanda di Betawi untuk menggunakan sumur sebagai sumber air, minum. Padahal waktu itu sudah banyak rumah tinggal yang memiliki sumur. Air sumur pasti lebih jernih dan lebih bebas dari segala macam pencemaran daripada air kali, asalkan cara pembuatannya tepat dan seterusnya terpelihara dengan baik. Tetapi sumur yang sekaligus juga menampung air hujan, pada umumnya hanya dipergunakan untuk berbagai keperluan dapur saja.

Betapapun, akhirnya disadari juga bahwa kondisi air minum berperan penting dalam pemeliharaan kesehatan. Pada hakikatnya antara abad ke-17 dan ke-19 sudah ada usaha-usaha menjernihkan air kali untuk air minum. Caranya sederhana saja. Air itu diendapkan dalam beberapa tempayan (matravan). Mulamula air diendapkan dalam tempayan pertama, lalu dipindatikan ke dalam tempayan kedua, ketiga dan seterusnya. Ketika masuk ke dalam tempayan terakhir, air sudah jernih. Tetapi apakah sekaligus sudah bebas kuman, masih merupakan tanda tanya.

Pada tahun 1811, ketika pecah perang antara negeri Belanda dan Inggris, diperkirakan bahwa tentara Inggris akan segera mendarat di Betawi. Pemerintah kota Betawi mengeluarkan perintah agar warga kota menghancurkan semua tempayan mereka, kecuali yang sangat diperlukan saja. Maksudnya supaya tentara Inggris tidak memperoleh. air minum bila mendarat di Betawi. Dengan demikian mereka akan terpaksa minum air kali dengan akibat akan kena sakit perut. Sejarah membuktikan bahwa siasat itu tidak efektif.

Cara penjernihan lain ialah dengan menyaring air di dalam leksteen, yakni semacam kendi dari keramik berbentuk tabung dengan keran di bawahnya. Di dalamnya terdapat ‘kendi tabung’ lagi yang lebih kecil, dari sejenis batu karang yang tembus air (poreus). Air dimasukkan ke tabung-dalam itu. Di sana air itu mengendap dan merembes ke tabung-luar yang lebih besar. Kalau keran dibuka, air yang mengucur dari sana jernih lagi sejuk rasanya.

Penggunaan tempayan untuk mengendapkan air minum, sekaligus tempat menyimpan persediaan air pun sudah tidak asing lagi bagi rakyat sebelum orang Barat ke sini. Kendi air juga sudah umum dipergunakan rakyat kita di masa ‘tempo doeloe’ sekali. Bedanya kendi dan tempayan-tempayan kita terbuat dari tanah liat.

Dikirim air dari Bogor

Sementara itu ada juga orang-orang Belanda Betawi yang tampaknya enggan minum air kali dalam keadaan yang sudah dijernihkan sekali pun. Buku Dr. de Haan menyebutkan bahwa sebagian orang Belanda biasa minum Seltzelwater, yakni air impor yang di masa itu sangat banyak didatangkan dari luar negri ke Betawi dengan nama ayer Belanda. Harganya mahal sekali: satu ringgit (rijksdaalder atau dua ratus lima puluh sen) per guci (kruik) kecil. Sudah barang tentu hanya orang-orang kayaraya saja yang kuat membayarnya.

Orang-orang Belanda yang cukup kuat keuangannya mendatangkan air minum dari daerah Bogor (1773), yakni air sumber yang jernih. Konon gubernur jenderal Belanda pada masa itu juga menerima kiriman air sumber dari Lontho (Lontar, di belakang Bogor).

Sampai dengan dasa warsa ke-2 abad ke-20 ini, penggunaan air sumber untuk minum juga populer di kalangan rakyat Betawi. Semasa saya masili bocah yang suka berlarian di jalan dalam celana monyet, kampung tempat tinggal keluarga saya terkadang dikunjungi ‘gerobak tangki’ yang menjajakan air sumber dari Kampung Lima (entah di mana pula letak kampung itu).

Air itu dijual per kaleng minyak tanah. Ibu saya selalu membeli untuk menambah persediaan air minum kami (air hujan). Setiap kali turun hujan deras, almarhum ayah saya selalu menampung dan menyimpan sekaligus mengendapkan dalam sejumlah tempayan.

Tulisan Tanu Trh diambil buku BATAVIA “Kisah Jakarta Tempo Doeloe” terbitan Gramedia dalam Intisari, bulan Juni 1980.

SEJARAH BERDIRINYA MONAS

Monumen Nasional






Monumen Nasional
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Tugu Monas (Monumen Nasional)

Koordinat: [Tunjukkan letak di peta interaktif] 6°10′31″S 106°49′37″E / 6.17528°S 106.82694°E / -6.17528; 106.82694 Monumen Nasional atau yang populer disingkat dengan Monas atau Tugu Monas adalah salah satu dari monumen peringatan yang didirikan untuk mengenang perlawanan dan perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah Belanda.

Tugu Peringatan Nasional dibangun di areal seluas 80 hektar. Tugu ini diarsiteki oleh Soedarsono dan Frederich Silaban, dengan konsultan Ir. Rooseno, mulai dibangun Agustus 1959, dan diresmikan 17 Agustus 1961 oleh Presiden RI Soekarno. Monas resmi dibuka untuk umum pada tanggal 12 Juli 1975.

Pembagunan tugu Monas bertujuan mengenang dan melestarikan perjuangan bangsa Indonesia pada masa revolusi kemerdekaan 1945, agar terbangkitnya inspirasi dan semangat patriotisme generasi saat ini dan mendatang.

Tugu Monas yang menjulang tinggi dan melambangkan lingga (alu atau anatan) yang penuh dimensi khas budaya bangsa Indonesia. Semua pelataran cawan melambangkan Yoni (lumbung). Alu dan lumbung merupakan alat rumah tangga yang terdapat hampir di setiap rumah penduduk pribumi Indonesia.

Lapangan Monas mengalami lima kali penggantian nama yaitu Lapangan Gambir, Lapangan Ikada, Lapangan Merdeka, Lapangan Monas, dan Taman Monas. Di sekeliling tugu terdapat taman, dua buah kolam dan beberapa lapangan terbuka tempat berolahraga. Pada hari-hari libur

Bentuk Tugu peringatan yang satu ini sangat unik. Sebuah batu obeliks yang terbuat dari marmer yang berbentuk lingga yoni simbol kesuburan ini tingginya 132 m.
Di puncak Monumen Nasional terdapat cawan yang menopang berbentuk nyala obor perunggu yang beratnya mencapai 14,5 ton dan dilapisi emas 35kg. Lidah api atau obor ini sebagai simbol perjuangan rakyat Indonesia yang ingin meraih kemerdekaan.

Pelataran puncak dengan luas 11x11 dapat menampung sebanyak 50 pengunjung. Pada sekeliling badan elevator terdapat tangga darurat yang terbuat dari besi. Dari pelataran puncak tugu Monas, pengunjung dapat menikmati pemandangan seluruh penjuru kota Jakarta. Arah ke selatan berdiri dengan kokoh dari kejauhan Gunung Salak di wilayah kabupaten Bogor, Jawa Barat, arah utara membentang laut lepas dengan pulau-pulau kecil berserakan. Bila menoleh ke Barat membentang Bandara Soekarno-Hatta yang setiap waktu terlihat pesawat lepas landas.

Dari pelataran puncak, 17 m lagi ke atas, terdapat lidah api, terbuat dari perunggu seberat 14,5 ton dan berdiameter 6 m, terdiri dari 77 bagian yang disatukan.
Pelataran puncak tugu berupa "Api Nan Tak Kunjung Padam" yang berarti melambangkan Bangsa Indonesia agar dalam berjuang tidak pernah surut sepanjang masa. Tinggi pelataran cawan dari dasar 17 m dan ruang museum sejarah 8 m. Luas pelataran yang berbentuk bujur sangkar, berukuran 45x45 m, merupakan pelestarian angka keramat Proklamasi Kemerdekaan RI (17-8-1945).

Pengunjung kawasan Monas, yang akan menaiki pelataran tugu puncak Monas atau museum, dapat melalui pintu masuk di seputar plaza taman Medan Merdeka, di bagian utara Taman Monas. Di dekatnya terdapat kolam air mancur dan patung Pangeran Diponegoro yang sedang menunggang kuda, terbuat dari perunggu seberat 8 ton.

Patung itu dibuat oleh pemahat Italia, Prof. Coberlato sebagai sumbangan oleh Konsulat Jendral Honores, Dr Mario di Indonesia. Melalui terowongan yang berada 3 m di bawah taman dan jalan silang Monas inilah, pintu masuk pengunjung ke tugu puncak Monas yang berpagar "Bambu Kuning".Landasan dasar Monas setinggi 3 m, di bawahnya terdapat ruang museum sejarah perjuangan nasional dengan ukuran luas 80x80 m, dapat menampung pengunjung sekitar 500 orang.

Pada keempat sisi ruangan terdapat 12 jendela peragaan yang mengabdikan peristiwa sejak zaman kehidupan nenek moyang bangsa Indonesia. Keseluruhan dinding, tiang dan lantai berlapis marmer. Selain itu, ruang kemerdekaan berbentuk amphitheater yang terletak di dalam cawan tugu Monas, menggambarkan atribut peta kepulauan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Kemerdekaan RI, bendera merah putih dan lambang negara dan pintu gapura yang bertulis naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Di dalam bangunan Monumen Nasional ini juga terdapat museum dan aula untuk bermeditasi. Para pengunjung dapat naik hingga ke atas dengan menggunakan elevator. Dari atau Monumen Nasional dapat dilihat kota Jakarta dari puncak monumen. Monumen dan museum ini dibuka setiap hari, mulai pukul 09.00 - 16.00 WIB.

Bentuk Tugu peringatan yang satu ini sangat unik. Sebuah batu obeliks yang terbuat dari marmer yang berbentuk lingga yoni simbol kesuburan ini tingginya 132 m.
Di puncak Monumen Nasional terdapat cawan yang menopang berbentuk nyala obor perunggu yang beratnya mencapai 14,5 ton dan dilapisi emas 35kg. Lidah api atau obor ini sebagai simbol perjuangan rakyat Indonesia yang ingin meraih kemerdekaan.

Pelataran puncak dengan luas 11x11 dapat menampung sebanyak 50 pengunjung. Pada sekeliling badan elevator terdapat tangga darurat yang terbuat dari besi. Dari pelataran puncak tugu Monas, pengunjung dapat menikmati pemandangan seluruh penjuru kota Jakarta. Arah ke selatan berdiri dengan kokoh dari kejauhan Gunung Salak di wilayah kabupaten Bogor, Jawa Barat, arah utara membentang laut lepas dengan pulau-pulau kecil berserakan. Bila menoleh ke Barat membentang Bandara Soekarno-Hatta yang setiap waktu terlihat pesawat lepas landas.
Dari pelataran puncak, 17 m lagi ke atas, terdapat lidah api, terbuat dari perunggu seberat 14,5 ton dan berdiameter 6 m, terdiri dari 77 bagian yang disatukan.

Pelataran puncak tugu berupa "Api Nan Tak Kunjung Padam" yang berarti melambangkan Bangsa Indonesia agar dalam berjuang tidak pernah surut sepanjang masa. Tinggi pelataran cawan dari dasar 17 m dan ruang museum sejarah 8 m. Luas pelataran yang berbentuk bujur sangkar, berukuran 45x45 m, merupakan pelestarian angka keramat Proklamasi Kemerdekaan RI (17-8-1945).

Pengunjung kawasan Monas, yang akan menaiki pelataran tugu puncak Monas atau museum, dapat melalui pintu masuk di seputar plaza taman Medan Merdeka, di bagian utara Taman Monas. Di dekatnya terdapat kolam air mancur dan patung Pangeran Diponegoro yang sedang menunggang kuda, terbuat dari perunggu seberat 8 ton.

Patung itu dibuat oleh pemahat Italia, Prof. Coberlato sebagai sumbangan oleh Konsulat Jendral Honores, Dr Mario di Indonesia. Melalui terowongan yang berada 3 m di bawah taman dan jalan silang Monas inilah, pintu masuk pengunjung ke tugu puncak Monas yang berpagar "Bambu Kuning".

Landasan dasar Monas setinggi 3 m, di bawahnya terdapat ruang museum sejarah perjuangan nasional dengan ukuran luas 80x80 m, dapat menampung pengunjung sekitar 500 orang.

Pada keempat sisi ruangan terdapat 12 jendela peragaan yang mengabdikan peristiwa sejak zaman kehidupan nenek moyang bangsa Indonesia. Keseluruhan dinding, tiang dan lantai berlapis marmer. Selain itu, ruang kemerdekaan berbentuk amphitheater yang terletak di dalam cawan tugu Monas, menggambarkan atribut peta kepulauan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Kemerdekaan RI, bendera merah putih dan lambang negara dan pintu gapura yang bertulis naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Di dalam bangunan Monumen Nasional ini juga terdapat museum dan aula untuk bermeditasi. Para pengunjung dapat naik hingga ke atas dengan menggunakan elevator. Dari atau Monumen Nasional dapat dilihat kota Jakarta dari puncak monumen. Monumen dan museum ini dibuka setiap hari, mulai pukul 09.00 - 16.00 WIB.

SEJARAH STADION UTAMA GELORA BUNG KARNO

Senin, 13 Oktober 2008

Stadion Gelora Bung Karno

google.com
Kota : Jakarta Pusat, DKI Jakarta Raya
Dibangun : 8 Februari 1960 (Renovasi 2007)
Kandang : Tim Nasional Indonesia, Persija Jakarta (Liga Super)
Kapasitas : 88.083 tempat duduk.
Tipe Stadion : Stadion Sepakbola Lama.
Kategori : A
Event besar - Asian Games IV Jakarta 1962
- Sea games (beberapa kali)
- PON (VI 1965, VIII 73, IX 77, X 81, XI 85, XII 89, XIII 93, XIV 96)
- LG Cup 2002 (turnament sepakbola antar klub Asia Tenggara)
- Piala Asia 2007
Big Match - Final Liga Indonesia I 1994/1995 (Persib vs Petrokimia 1-0)
- Final Liga Indonesia II 1995/1996 (Mantrans Bandung Raya vs PSM 2-0)
- Final Liga Indonesia III 1996/1997 (Persebaya vs Bandung Raya 3-1)
- Final Liga Indonesia VI 1999/2000 (PSM vs Bontang PKT 3-2)
- Final Liga Indonesia VII 2001 (Persija vs PSM 3-2)
- Final Piala Tiger 2001 (Indonesia vs Thailand 2-2, Thailand menang pinalti)
- Final Liga Indonesia VIII 2002 (Petrokimia vs Persita 1-1 ET 2-1)
- Final LG Cup 2002 ( East Bengal India vs Detero Sasana Thailand 1-0)
- Kandang Indonesia Final Piala AFF 2004 (Indonesia vs Singapura 1-3)
- Final Liga Indonesia XI 2005 (Persipura vs Persija 2-2 ET 3-2)
- Final Copa Indonesia 2005 (Arema vs Persija 4-3)
- Final Piala Asia 2007 (Irak vs Arab Saudi 1-0)
  • Final Copa Indonesia 2007/2008 ( Sriwijaya FC vs Persipura 1-1 ET 1-1,Pen 3-0)
Sejarah Singkat :
google.com
Gelanggang Olahraga (Gelora) Bung Karno adalah sebuah kompleks olahraga serbaguna di Senayan, Jakarta, Indonesia. Kompleks olahraga ini dinamai untuk menghormati Soekarno, Presiden pertama Indonesia, yang juga merupakan tokoh yang mencetuskan gagasan pembangunan kompleks olahraga ini. Dalam rangka de-Soekarnoisasi, pada masa Orde Baru, nama kompleks olahraga ini diubah menjadi Istora Senayan. Setelah bergulirnya gelombang reformasi pada 1998, nama kompleks olahraga ini dikembalikan kepada namanya semula melalui Surat Keputusan Presiden No. 7/2001.[1]. Dengan kapasitas sekitar 100.000 orang, stadion yang mulai dibangun pada pertengahan tahun 1958 dan penyelesaian fase pertama-nya pada kuartal ketiga 1962 ini merupakan salah satu yang terbesar di dunia. Menjelang Piala Asia 2007, dilakukan renovasi pada stadion yang mengurangi kapasitas stadion menjadi 88.083 penonton.
Pembangunannya didanai dengan kredit lunak dari Uni Soviet sebesar 12,5 juta dollar AS yang kepastiannya diperoleh pada 23 Desember 1958.(sejarah singkat, sumber: google.com).

SEJARAH PERSIJA JAKARTA

Salah satu klub kuat di Indonesia yang berdomisili di daerah ibukota yakni Persija Jakarta, klub yang menjadi pujaan bagi The Jak Mania. Klub yang identik dengan warna orange ini, sangat mendapatkan  perhatian besar dari mantan gubernur DKI Jakarta, Bang Yos. Bang Yos, begitu sapaan akrab Sutiyoso pada tahun 1997 juga merupakan aktor dibalik pergantian warna kebesaran Persija dari merah ke oranye.Kelompok pendukungnya bernama The Jakmania.
















Sejarah Persija Jakarta
Persija (singkatan dari Persatuan Sepak Bola Indonesia Jakarta) adalah sebuah klub sepakbola Indonesia yang berbasis di Jakarta. Persija saat ini berlaga di Liga Super Indonesia.
Persija didirikan pada 28 November 1928, dengan cikal bakal bernama Voetbalbond Indonesish Jakarta (VIJ). VIJ merupakan salah satu klub yang ikut mendirikan Persatuan sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI) dengan keikutsertaan wakil VIJ, Mr. Soekardi dalam pembentukan PSSI di Societeit Hadiprojo Yogyakarta, Sabtu 19 April 1930. Pada tahun 1950 VIJ resmi mengganti namanya menjadi Persija Jakarta.
Pada zaman Hindia Belanda, nama awal Persija adalah VIJ (Voetbalbond Indonesische Jacatra). Pasca-Republik Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan, VIJ berganti nama menjadi Persija (Persatuan sepak bola Indonesia Jakarta). Pada saat itu, NIVU (Nederlandsch Indisch Voetbal Unie) sebagai organisasi tandingan PSSI masih ada. Di sisi lain, VBO (Voetbalbond Batavia en Omstreken) sebagai bond (perserikatan) tandingan Persija juga masih ada.
Terlepas dari takdir atau bukan, seiring dengan berdaulatnya negara Indonesia, NIVU mau tidak mau harus bubar. Mungkin juga karena secara sosial politik sudah tidak kondusif (mendukung). Suasana tersebut akhirnya merembet ke anggotanya, antara lain VBO. Pada pertengahan tahun 1951, VBO mengadakan pertemuan untuk membubarkan diri (likuidasi) dan menganjurkan dirinya untuk bergabung dengan Persija. Dalam perkembangannya, VBO bergabung ke Persija. Dalam turnamen segitiga persahabatan, gabungan pemain bangsa Indonesia yang tergabung dalam Persija “baru” itu berhadapan dengan Belanda dan Tionghoa. Inilah hasilnya: Persija (Indonesia) vs Belanda 3-3 (29 Juni 1951), Belanda vs Tionghoa 4-3 (30 Juni 1951), dan Persija (Indonesia) vs Tionghoa 3-2 (1 Juli 1951). Semua pertandingan berlangsung di lapangan BVC Merdeka Selatan, Jakarta.
Prestasi Persija Jakarta
Perserikatan :
* Tahun 1931, Juara Perserikatan, sebagai VIJ Jakarta (1)
* Tahun 1933, Juara Perserikatan, sebagai VIJ Jakarta (2)
* Tahun 1934, Juara Perserikatan, sebagai VIJ Jakarta (3)
* Tahun 1938, Juara Perserikatan, sebagai VIJ Jakarta (4)
* Tahun 1964, Juara Perserikatan (5)
* Tahun 1973, Juara Perserikatan (6)
* Tahun 1975, Juara Perserikatan, bersama dengan PSMS Medan (7)
* Tahun 1977, Juara Perserikatan (8)
* Tahun 1979, Juara Perserikatan (9)
* Tahun 1990, Peringkat Ke-10 Perserikatan
Liga Indonesia :
* Tahun 1994, Peringkat Ke-18 Divisi Utama Wilayah Barat
* Tahun 1995, Peringkat Ke-13 Divisi Utama Wilayah Barat
* Tahun 1996, Peringkat 11 Wilayah Barat
* Tahun 1998, Semifinalis
* Tahun 1999, Semifinalis
* Tahun 2001, Juara Liga Indonesia (10)
* Tahun 2002, 8 Besar Liga Bank Mandiri
* Tahun 2003, Peringkat 8 Liga Bank Mandiri
* Tahun 2004, Peringkat 3 Liga Bank Mandiri
* Tahun 2005, Runner-Up Liga Indonesia
* Tahun 2006, Liga Indonesia 8 Besar
Liga Super Indonesia :
* Tahun 2009, Peringkat 7 Liga Super Indonesia
* Tahun 2010, Peringkat 5 Liga Super Indonesia
Piala Indonesia :
* Tahun 2005, Runner-Up Copa Indonesia
* Tahun 2006, Copa Indonesia Juara 3
* Tahun 2007, Copa Indonesia Juara 3
Prestasi Persija (Internasional)
* Tahun 2000, Juara Piala Sultan Brunei Darussalam.
Situs Resmi Jakmania : www.jakmania.org

SEJARAH LAHIRNYA KOTA JAKARTA

SEJARAH HARI LAHIRNYA KOTA JAKARTA




Oleh A.Heuken (Dalam rangka menyambut ultah Jakarta ke 470)
Awal mula berdirinya beberapa kerajaan dan kota besar di bumi ini diliputi mitos. Kekosongan data sejarah diisi dengan cerita legendaris. Demikian halnya dengan Roma, yang katanya didirikan oleh Romulus dan Remus, kakak-beradik yang dibesarkan oleh seekor serigala. Demikian juga diceritakan tentang negeri Matahari Terbit yang dikaitkan dengan keturunan dewi matahari, yang sampai kini menghiasi bendera kebangsaan Jepang. Menimbulkan polemik
Rupanya mitos semacam ini meliputi pula asal usul atau lahirnya Kota Jakarta, ibu kota tertua dari semua negara di Asia Tenggara, walaupun belum begitu tua jika dibandingkan dengan kota seperti Kyoto dan Thang-Long atau Hanoi umpamanya. Kalau demikian, atas dasar apa warga Jakarta merayakan hari jadinya yang ke-470 pada tahun ini? Sejarawan Abdurrachman Suryomomihardjo mengomentari keputusan Walikota Jakarta Sudiro (1953 - 1958) tentang hari jadi Jakarta sebagai "kemenangan Sudiro" yang berlandaskan "kemenangan Fatahillah" yang pastinya tidak kita ketahui. Pada tahun '50-an perdebatan tentang asal usul Jakarta memuncak dalam perang pena dua mahaguru, yaitu Dr. Soekanto dan Dr. Hussein Djajadiningrat. Polemik ini pun sudah menjadi sejarah yang dilupakan oleh sebagian besar penghuni Jakarta, yang dibuai terus dengan karangan-karangan resmi yang menampakkan asal usul ibu kota dengan begitu gamblang. Namun belum begitu lama Dr. Slametmulyana masih berpegang pada tesis bahwa nama Ja(ya)karta diturunkan dari nama adipatinya yang ketiga, yaitu Pangeran Jayawikarta, yang membela kotanya terhadap J.P. Coen, pendiri Batavia (1619), namun dikalahkan oleh saingannya dari Banten. Di balik berbagai teori yang kurang pasti ini apa yang pasti? Apa yang terbukti? Pertama, dokumen-dokumen tertua menyebutkan suatu permukiman di mulut Ciliwung bukan dengan nama Ja(ya)karta, melainkan Sunda Calapa. Dokumen tertua yang menyebut nama ini adalah Summa Oriental karangan Tome Pires, yang memuat laporan kunjungannya dari tahun 1512/15. Apakah Ma Huan, penulis laporan pelayaran armada Laksamana Zheng-Ho, yang kapal-kapalnya mengunjungi Pantai Ancol pada awal abad XV, mengenal Chia liu-pa (atau Calapa) belum dapat dipastikan kebenarannya. Direbut pasukan Cirebon Sebutan Sunda Calapa dipakai terus sampai pertengahan abad XVI (misalnya oleh A. Nunez, Lyro do pesos Ymdia, 1554) dan dimuat pada peta-peta Asia sampai awal abad XVII. Nama Ja(ya)karta untuk pertama kalinya disebutkan dalam suatu dokumen tertulis, yang berasal dari sekitar tahun 1553, yakni dalam karangan sejarawan Barros, yang berjudul Da Asia: Pulau Sunda adalah negeri yang di pedalaman lebih bergunung-gunung daripada Jawa dan mempunyai enam pelabuhan terkemuka, (Cimanuk) Chiamo di ujung pulau ini, Xacatara dengan nama lain (Karawang) Caravam, (Xacatara por outro nome Caravam), (Tangerang) Tangaram, (Cigede) Cheguide, (Pontang) Pontang dan (Banten) Bintam. Inilah tempat-tempat yang ramai lalu lintas akibat perniagaan di Jawa seperti pula di Malaka dan Sumatra .... (Barros, Da Asia decada IV, liv. 1, Cap XII, hlm. 77) . Jao de Barros (1496 - 1570) bekerja di Casa da India (1532 -1568) di Lisabon, tempat segala laporan dari Asia diterima dan diarsipkan. Meskipun karangannya tentang Asia Tenggara dari tahun 1553 menunjukkan keadaan yang sedikit lebih tua, kita tidak tahu persisnya dari tahun berapa. Karena itu nama Ja(ya)karta (dalam segala ejaannya) tidak terdokumentasi sebelum tahun 1550. Dokumen Indonesia pertama yang memakai sebutan "Jakarta" tidak mungkin berasal dari sebelum tahun 1602. Dokumen ini merupakan suatu "piagam" dari Banten, yang ditemukan van der Tuuk (1870). Meski demikian, nama Sunda Calapa tetap dipergunakan juga sampai akhir abad XVI, bahkan dalam berita pelayaran Belanda dari akhir abad itu. Walaupun tidak dapat diketahui dari sumber sezaman, kapan pelabuhan di mulut S. Ciliwung itu berganti nama dan mungkin juga penduduknya, bisa dipastikan dari berbagai sumber Portugis (misalnya J. de Barros, F.L. Castaheda, G. Correa), yaitu pada akhir tahun 1526 atau awal 1527. Sunda Calapa direbut dari kekuasaan kerajaan Hindu Sunda oleh pasukan Islam dari Cirebon. Awak kapal Portugis yang dipimpin D. de Coelho dan terdampar di Pantai Sunda Calapa dibunuh dan dipukul mundur oleh penguasa baru . Maka, 470 tahun yang lalu pasti terjadi perubahan besar di daerah yang sekarang disebut "Kota". Sunda Calapa (sampai 1526/27) maupun Jayakarta (1527 - 1619) terletak di sebelah selatan suatu garis yang dibentuk oleh rel kereta api dan jalan tol baru sedikit di sebelah utara Hotel Omni Batavia sekarang. Maka pasukan Cirebon yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati sebagai sekutu (atau bawahan?) Kesultanan Demak mendarat di pantai yang terbentang kurang lebih pada garis tersebut. Mungkin juga ia menyerang Sunda Calapa melewati daratan dari arah Marunda. Hal ini agak sulit, karena pada zaman itu daerah antara Marunda dan Kota masih penuh hutan lebat serta rawa-rawa yang banyak buayanya. Mitos, legenda, atau hanya cerita? Masalah siapa yang memimpin tentara koalisi Cirebon-Demak-Banten melawan raja Pajajaran belum terpecahkan dengan tuntas. Rupanya hal ini tidak mungkin terungkap, karena dokumen sejarah dari masa itu tidak ada, baik yang berbentuk tulisan maupun benda sejarah. Nilai sejarah cerita Purwaka Tjaruban Nagari, yang pengarangnya menyebut diri Pangeran Aria Tjarbon masih diperdebatkan oleh para sejarawan. Naskah dari sekitar tahun 1720 ini telah beredar sejak awal abad XIX di luar lingkungan Keraton Cirebon. Belum ada edisi kritis dari naskah penting ini, apalagi mengenai kitab sumbernya, yang disebutkan pada halaman terakhir yakni naskah Negarakertabumi. Purwaka Tjaruban Nagari bukan dokumen dari zaman Jakarta didirikan, maka pengetahuan tentang sumbernya penting. Selain itu naskah ini penuh cerita ajaib dan bagian-bagian yang memperlihatkan kepentingan pihak Cirebon pada waktu itu. Atas dasar yang secara halus dapat disebut ketidakpastian itu dibangun suatu sejarah tentang tokoh "pendiri" Jakarta, yaitu Fatahillah. Keberadaan dan peran penting seseorang yang muncul dalam aneka sumber sejarah sebagai Tagaril, Fadilah Khan, Falatehan atau Fatahillah, tak dapat disangsikan. Namun identitas dan kegiatan tokoh dari Pasai (Sumatra Utara) itu belum jelas betul. Karangan dan seminar sejarawan Indonesia dan luar negeri masih tetap bergumul tentang siapakah Fatahillah, orang Gujarat keturunan Arab itu. Mengingat keadaan sumber-sumber sejarah yang sulit ditemukan, bahkan harus dikatakan hampir nihil, maka pada awal berdirinya Kota yang dinamai Jayakarta itu akan tetap diliputi kabut, sehingga mitos dengan leluasa dapat berkembang, dipelihara, bahkan diresmikan. Nasib ini memang bukan hanya khas Jakarta. Memang sejarah yang kritis kadang kala menyajikan kejadian historis sebagai peristiwa yang bercorak agak biasa, sedangkan mitos, legenda, dan cerita dengan leluasa dapat membakar imajinasi dan semangat. Tetapi ini bukan maksud sejarah yang ingin mengenal kenyataan dan menafsirkannya. Apakah menginjak abad XXI ini orang akan puas dengan mitos ataukah mereka ingin mengetahui kebenaran? Kapankah akan terbit sejarah Jakarta yang kritis? Apakah sudah waktunya? Sudah mungkinkah dengan mengingat nasib aneka buku kritis yang muncul akhir-akhir ini? Jakarta yang merayakan hari ulang tahun ke-470 sepantasnya memiliki kajian sejarahnya, yang realistis serta ilmiah. Walaupun masa awal dan sejarah berikutnya akan tampak agak biasa, sejarah seperti ini diperlukan untuk membangun suatu rasa memiliki warga kota pada pergantian abad ini yang tidak lama lagi akan berlangsung. Mitos dan legenda tetap berfungsi, namun tidak memadai sebagai landasan pembangunan masa depan suatu masyarakat yang peduli pada nasib kotanya dan peninggalan-peninggalan sejarahnya.

Senin, 21 November 2011

SEJARAH JAKARTA

Sejarah IbuKota Jakarta

 

  

Nama Jayakarta diganti menjadi Batavia. Keadaan alam Batavia yang berawa-rawa mirip dengan negeri Belanda, tanah air mereka. Mereka pun membangun kanal-kanal untuk melindungi Batavia dari ancaman banjir. Kegiatan pemerintahan kota dipusatkan di sekitar lapangan yang terletak sekitar 500 meter dari bandar. Mereka membangun balai kota yang anggun, yang merupakan kedudukan pusat pemerintahan kota Batavia. Lama-kelamaan kota Batavia berkembang ke arah selatan. Pertumbuhan yang pesat mengakibatkan keadaan lilngkungan cepat rusak, sehingga memaksa penguasa Belanda memindahkan pusat kegiatan pemerintahan ke kawasan yang lebih tinggi letaknya. Wilayah ini dinamakan Weltevreden. Semangat nasionalisme Indonesia di canangkan oleh para mahasiswa di Batavia pada awal abad ke-20.

Sebuah keputusan bersejarah yang dicetuskan pada tahun 1928 yaitu itu Sumpah Pemuda berisi tiga buah butir pernyataan , yaitu bertanah air satu, berbangsa satu, dan menjunjung bahasa persatuan : Indonesia. Selama masa pendudukan Jepang (1942-1945), nama Batavia diubah lagi menjadi Jakarta. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Ir. Soekarno membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta dan Sang Saka Merah Putih untuk pertama kalinya dikibarkan. Kedaulatan Indonesia secara resmi diakui pada tahun 1949. Pada saat itu juga Indonesia menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada tahun 1966, Jakarta memperoleh nama resmi Ibukota Republik Indonesia. Hal ini mendorong laju pembangunan gedung-gedung perkantoran pemerintah dan kedutaan negara sahabat. Perkembangan yang cepat memerlukan sebuah rencana induk untuk mengatur pertumbuhan kota Jakarta. Sejak tahun 1966, Jakarta berkembang dengan mantap menjadi sebuah metropolitan modern. Kekayaan budaya berikut pertumbuhannya yang dinamis merupakan sumbangan penting bagi Jakarta menjadi salah satu metropolitan terkemuka pada abad ke-21.
  • Abad ke-14 bernama Sunda Kelapa sebagai pelabuhan Kerajaan Pajajaran.
  • 22 Juni 1527 oleh Fatahilah, diganti nama menjadi Jayakarta (tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari jadi kota Jakarta keputusan DPR kota sementara No. 6/D/K/1956).
  • 4 Maret 1621 oleh Belanda untuk pertama kali bentuk pemerintah kota bernama Stad Batavia.
  • 1 April 1905 berubah nama menjadi 'Gemeente Batavia'.
  • 8 Januari 1935 berubah nama menjadi Stad Gemeente Batavia.
  • 8 Agustus 1942 oleh Jepang diubah namanya menjadi Jakarta Toko Betsu Shi.
  • September 1945 pemerintah kota Jakarta diberi nama Pemerintah Nasional Kota Jakarta.
  • 20 Februari 1950 dalam masa Pemerintahan. Pre Federal berubah nama menjadi Stad Gemeente Batavia.
  • 24 Maret 1950 diganti menjadi Kota Praj'a Jakarta.
  • 18 Januari 1958 kedudukan Jakarta sebagai Daerah swatantra dinamakan Kota Praja Djakarta Raya.
  • Tahun 1961 dengan PP No. 2 tahun 1961 jo UU No. 2 PNPS 1961 dibentuk Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya.
  • 31 Agustus 1964 dengan UU No. 10 tahun 1964 dinyatakan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya tetap sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dengan nama Jakarta.
  • Tahun1999, melalaui uu no 34 tahun 1999 tentang pemerintah provinsi daerah khusus ibukota negara republik Indonesia Jakarta, sebutan pemerintah daerah berubah menjadi pemerintah provinsi dki Jakarta, dengan otoniminya tetap berada ditingkat provinsi dan bukan pada wilyah kota, selain itu wiolyah dki Jakarta dibagi menjadi 6 ( 5 wilayah kotamadya dan satu kabupaten administrative kepulauan seribu)
  • Undang-undang Nomor 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700).

Rabu, 16 November 2011

TUGAS PAK KUSNARA

BPAK YANG GANTENG , INI TUGAS ANE , DPET SERATUS YA PAK!!!!! NAMA ANE HERU AGUNG WIDODO