ceo monitor

Rabu, 30 November 2011

PAHLAWAN DARI BETAWI


Pahlawan Nasional kelahiran Betawi kini menjadi dua orang setelah pemerintah menetapkan komponis dan pencipta lagu, almarhum Ismail Marzuki sebagai pahlawan nasional. Sebelumnya, Mohammad Husni Thamrin merupakan pahlawan nasional pertama kelahiran Betawi.
Penganugerahan Pahlawan Nasional disematkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kepada putri angkat almarhum Ismail Marzuki, Rachmi Aziah. Ahli waris Pahlawan Nasional itu berhak mendapatkan santunan dari negara Rp 600 ribu per bulan. Ismail Marzuki, yang namanya diabadikan untuk Taman Ismail Marzuki meninggal dunia 1958 dalam usia 44 tahun. Sedangkan istrinya, Lies Zuraedah meninggal 2002 lalu.
Selama hidupnya yang singkat, Bang Maing, sebutan populer Ismail Marzuki, telah menciptakan tidak kurang 200 lagu. Ada pula yang menyebutkan 300'an lagu dalam berbagai jenis irama. Sebagai seorang nasionalis relijius -- masa kecilnya mengaji di Unwanul Falah Kwitang - ia menciptakan lagu dengan setting perjuangan dari Sabang sampai Merauke. Seperti lagu ''Olele di Kotaraja' dan 'Irian Samba'.
Ismail, merupakan sosok Islam moderat yang istiqomah menggali dan mengamalkan Islam sekaligus mendalami seni. Ini dapat kita resepi dari karyanya Gugur Bunga, Indonesia Tanah Pusaka, dan masih banyak lagi. Karena lagu 'Rayuan Pulau Kelapa' yang diciptakan pada 1950'an, Bung Karno memberikan penghargaan Piagam Wijayakusuma kepadanya.
Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB), Rusdi Saleh, atas nama warga Jakarta dan Betawi khususnya menyatakan penghargaan kepada pemerintah atas anugerah ini. Warga Betawi merasa tersanjung dengan penghargaan Pahlawanan Nasional kepada salah seorang putra terbaiknya.
Menurut Rusdi, perjuangan untuk menggolkan Bang Maing sebagai pahlawan nasional telah dikumandangkan sejak 20 Mei 2003 pada peringatan wafatnyua Bang Maing di TPU Karet Bivak. Jakarta Pusat. Kemudian di follow up-kan oleh Permata (Persatuan Masyarakat Jakarta) dan mendapat respon positif dari gubernur Sutiyoso. Kemudian pada 7 Juli 2004 LKB membentuk kelompok kerja (Pokja) yang terdiri dari Rusdi Saleh, dr Atje Muljadi, Prof Dr Budyatna, Kris Biantoro, Ebet Kadarusman, Ridwan Saidi, dan Alwi Shahab. Pokja ini berjuang untuk menjadikan Ismail Marzuki sebagai pahlawan nasional.
Selain menuntut agar Ismail Marzuki diberi penghargaan gelar Pahlawan Nasional, LKB juga menuntut agar Jalan Prapatan antara jembatan Kwitang sampai Tugu Petani di kiri kanannya diganti menjadi Jl Ismail Marzuki. Mereka juga mengusulkan agar dibangun patung Ismail Marzuki di samping patung Muhammad Husni Thamrin di Jl Thamrin. Pemerintah DKI Jakarta telah mendirikan patung Jenderal Sudirman di Jl Sudirman dan merencakan membangun patung pahlawanan nasional Diponegoro, di Jl Diponegoro, Jakarta Pusat.
Ketika Ismail Marzuki diusulkan sebagai pahlawan nasional, usulan ini telah mendapat dukungan dari para seniman dan pejuang kemerdekaan. Termasuk Yusuf Ronodipuro, mantan dubes RI di Argentina dan sekjen Deppen. Keduanya berjuang bersama saat mendirikan RRI pada masa perjuangan fisik. Menurut Yusuf, pada 1946 ia bersama Ismail naik kereta ke Yogyakarta. Ketika tiba di stasion Yogya pada senja hari, melalui jendela KA Ismail menyaksikan pemandangan yang mengharukan. Dan terciptalah lagu ''Sepasang Mata Bola''
Masih dalam rangka mengenang komponis legendasris ini, menurut Rusdi, LKB merencanakan untuk mendirikan Ismail Marzuki Award. Akan memberikan hadiah dan penghargaan kepada para pencipta lagu berprestasi tiap tahunnya.

BANG MA’ING, PAHLAWAN DARI BETAWI
Kampung Kwitang, 11 Mei 1921. Di sebuah rumah yang sebagian dindingnya terbuat dari papan lahir seorang bayi mungil. Bang Marzuki yang tengah menantikan kelahiran putranya ini memberinya nama Ismail. Di rumah petak (kini Jl Kembang IV/97, Kwitang) inilah Ismail dibesarkan. Tapi,
Ismail tak lama mendapatkan kasih sayang ibunya karena meninggal ketika ia baru berusia tiga bulan. Ismail benar-benar menjadi tumpuan kasih sayang ayahnya. Karena dari ketiga kakaknya hanya Hamidah yang hidup.
Kedua kakaknya, Yusuf dan Yakub, meninggal saat dilahirkan. 
Ismail yang kemudian mendapat nama sapaan Bang Maing ini tumbuh menjadi sosok cerdas dengan bakat musikal yang kental. Lagu-lagu ciptaannya tak lekang digerus masa dan dikagumi hingga ke manca negara. Namanya kemudian diabadikan sebagai sebuah tempat para seniman, pemikir, dan penikmat seni budaya mengekpresikan dirinya, yaitu Taman Ismail Marzuki (TIM) di Cikini, Jakarta Pusat. Ismail memang tumbuh dan hidup tak jauh dari Cikini. Menurut salah seorang kerabatnya di Kwitang, keadaan rumah Ismail yang kini ditempati seorang Cina) kini sudah jauh berbeda. Dulu di depannya terdapat teras tempat Ismail bermain musik dan mencipta lagu. Rumah itu terletak sekitar 40 meter dari Masjid Kwitang.

Di samping masjid itu dulunya terdapat sebuah madrasah Unwanul Falah yang dipimpinan Habib Ali Alhabsji. Di tempat ini Ismail kecil mengaji petang hari setelah pagi harinya sekolah di HIS (SD zaman Belanda) Idenburg di kawasan Menteng. Pengaruh pendidikan agama ini tidak saja menyebabkan Ismail dapat menguasai Alquran dengan baik, tapi juga punya budi pekerti dan akhlak yang baik pula. Ayahnya yang taat pada agama dan hampir tak lepas dari tasbih semula tak berkenan Ismail jadi anak wayang (sebutan negatif saat itu pada orang yang aktif berkesenian).
Tapi, ia tak dapat membendung hasrat Ismail yang gila musik. Sejak kecil anak ini sudah keranjingan lagu dan sanggup berjam-jam mendengarkan gramophone yang oleh orang Betawi disebut mesin ngomong. Akibatnya, pada usia 17 tahun dan masih bersekolah di MULO (SMP) Ismail sudah mampu mengarang lagu Sarinah (1931). Pengalamannya sebagai santri Habib Ali Kwitang banyak mempengaruhi pola pikirnya. Ia menjadi sosok Islam moderat dengan istiqomah menggali dan mengamalkan Islam serta sekaligus mendalami seni. Dari nilai-nilai keagamaan dan nasionalisme yang diperolehnya tak pernah membuatnya absen ikut berjuang untuk negeri tercinta ini. Ini dapat kita resapi dalam lagu karyanya seperti Gugur Bunga, Indonesia Tanah Pusaka, dan masih banyak lagi. Tidak hanya sebagai pencipta lagu, Ismail pun mahir memainkan sejumlah alat musik.
Kemampuannya dalam menyanyi pun tak diragukan. ini dibuktikannya ketika menjadi penyanyi belakang layar untuk film Terang Bulan. Dalam film yang diproduksi tahun 1930-an ini, Bang Maing menyanyi untuk aktor Rd Mochtar. Terang Bulan, seperti dikemukakan seniman dan pimpinan Sinemateks Indonesia, SM Ardan, merupakan film yang sukses kala itu. Selama hidupnya yang singkat meninggal 1958 dalam usia 44 tahun Ismail telah menciptakan tidak kurang 200 lagu. Ada pula yang menyebutkan 300-an lagu dalam berbagai jenis irama. Ia meninggalkan seorang istri, Eulis Zuraidah (meninggal 2002), mojang Priangan yang dinikahinya pada 1941. 
Dan seorang anak angkat, Rachmi Aziah. Rayuan Pulau Kelapa, lagu yang diciptakan Ismail pada 1944, dikagumi bukan saja di dalam negeri, tapi mancanegara. Karena keindahan lagu ini lantas Bung Karno memberikan pengahargaan Piagam Wijayakusuma kepadanya. Karena kiprahnya sebagai seniman dan budayawan besar yang ikut menggelorakan perjuangan bangsa melalui lagu-lagu perjuangan, Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) pada 7 Juli 2004 lalu telah membentuk kelompok kerja (pokja) untuk mengusulkan Ismail Marzuki sebagai Pahlawan Nasional. Para anggotanya Dr H Atje Mulyadi, Rusdi Saleh, Prof. Dr. Budyatna, Ebet Kadarusman, Krim Biantaro dan Alwi Shahab. 
Selain menuntut agar Ismail Marzuki diberi penghargaan gelar Pahlawan Nasional, menjelang Hari Pahlawan Nasional 10 Nopember 2004, LKB juga menuntut agar Jalan Parapatan antara jembatan Kwitang sampai tugu Betawi, dikiri kanannya diberi nama Jl Ismail Marzuki juga. Mereka
mengusulkan pula agar di ujung taman Jl Kwitang Raya dekat Toko Buku Gunung Agung didirikan patung komponis besar ini. Sejauh ini Gubernur Sutiyoso mendukung usulan ini. Tapi, hingga kini belum mendapat respon dari Departemen Sosial sebagai lembaga yang berwenang. Dukungan yang
sama juga dikemukakan sejumlah seniman, budayawan dan tokoh masyarakat. Termasuk Yusuf Ronodipuro, mantan dubes RI di Argentina dan Sekjen Deppen. 
Yusuf Ronodipuro yang kini berusia diatas 80 tahun ini mengaku mengenal Ismail Marzuki sejak 1943 pada masa pendudukan Jepang. "Saya dan Ismail semakin akrab waktu pindah ke radio militer Jepang di Merdeka Barat yang bernama Hozo Kyeku," kata mantan Kepala RRI Pusat itu. Lagu Halo-Halo Bandung yang menurut Yusuf merupakan gubahan Ismail Marzuki ini telah menggetarkan semangat juang para pemuda saat mendengar bait ajakan Mari Bung rebut kembali. Lagu ini menjadi abadi hingga kini. "Berbeda dengan lagu-lagu sekarang yang merengek-rengek terus nggak ada isinya. Waktu itu, hasil karya Ismail Marzuki sangat kita butuhkan untuk dapat mengisi semangat perjuangan," ujarnya. Menurut Yusuf, pada 1946 ia bersama Ismail Marzuki naik kereta api ke Yogyakarta. Ketika tiba di stasiun Yogya pada senja hari melalui jendela KA, Ismail menyaksikan pemandangan yang mengharukan. Ia pun mengabadikan pemandangan itu, dan jadilah lagu berjudul Sepasang Mata Bola.

MUHAMMAD HOESNI THAMRIN DAN PASAR ASEM REGES
Pasar Asem Reges terletak di kawasan Sawah Besar atau Sao Besar kata orang Betawi. Untuk mencapai pasar yang telah berusia lebih satu abad ini, dari Jl Pecenongan kita menuju Jl Taman Sari (Jakarta Barat). Asem Reges kini terkenal sebagai salah satu pusat perdagangan suku cadang kendaraan bermotor di Ibukota.
Dulu pasar itu merupakan pusat perdagangan sepeda. Maklum sampai 1950-an sepeda merupakan salah satu alat transportasi utama di Jakarta. Para pegawai, dan terutama para murid dan mahasiswa, saat sekolah dan kuliah memakai sepeda. Termasuk nonton bioskop dan pergi ke tempat hiburan dengan pacar. Di tempat-tempat ini terdapat tempat penitipan sepeda.

Jl Asem Reges ketika saya datangi awal minggu ini sudah berubah jadi Jl Taman Sari Raya. Dulu Asem Reges jadi nama jalan tersendiri, untuk kemudian menyambung dengan Jl Taman Sari. Ini merupakan peggantian yang kedua kali. Karena pada masa Belanda Jl Asem Reges bernama Droossaerweg. Seperti juga Sawah Besar -- jalan utama di sebelahnya -- kini jadi Jl Sukarjo Wiryopranoto dan KH Samanhudi. Sekalipun demikian nama Sawah Besar tetap lebih populer sampai saat ini.
Dulu, di Asem Reges terdapat pabrik limun terkenal 'Lourdes'. Kala itu, Coca Cola, Pepsi, dan Fanta, belum ada. Pabrik ini memproduksi air Belanda yang kemudian terkenal dengan air soda. 
Di belakang pasar Asem Reges terdapat jalan yang hanya bisa dilewati satu mobil. Yakni, Gang Wedana (kini Jl Taman Sari II), Gang Arab (Jl Taman Sari IC), Gang Alfu (Taman Sari III), dan Gang Maphar (Jl Taman Sari IV). Sampai tahun 1960-an, banyak sekali keturunan Arab yang tinggal di kawasan ini.

Nama Jl Wedana menunjukkan bahwa di jalan itu pernah tinggal seorang wedana. Dan, sang wedana itu tidak lain Thamrin Moehammad Thabri, ayah pahlawan nasional asal Betawi, Mohammad Hoesni Thamrin. Thamrin Moehamad Thabri, seperti diuraikan cucunya H Nuh Thamrin dan keponakan Hoesni Thamrin, tinggal dibagian ujung Gang Wedana. Di rumah inilah, keluarga Thabri tinggal termasuk Hoesni Thamrin dan adiknya, Abdillah Thamrin.

Rumah tempat Thamrin dibesarkan itu kemudian menjadi Rumah Bersalin Sawah Besar, dan kini menjadi pertokoan. Ia diangkat jadi wedana tahun 1908 -- jabatan paling tinggi nomor dua untuk golongan bumiputera. Karena itulah, putera-puteranya dapat menikmati sekolah Belanda. Termasuk sekolah di Broeder dan KW Drie (kini Gedung Arsip Nasional di Salemba). KW Drie merupakan sekolah bergengsi pada masa itu, tidak sembarang bumiputera boleh sekolah di sana.
Di Gang Wedana, pada 1917, Thamrin Moehammad Thabri sebagai seorang yang telah menunaikan rukum Islam kelima, dan dididik dari keluarga taat beragama, mendirikan sebuah masjid yang diberi nama An-Nur. Masjid ini dibangun setelah ia pensiun pada 1911. 
Kini masjid yang dulunya mushola itu sudah menyatu di antara Gang Arab dan Gang Wedana. Masjid berlantai dua ini dapat menampung 1500 jamaah. Sementara adik M Hoesni Thamrin, Abdillah Thamrin, setelah bermukim selama selama 11 tahun di Mekah, diminta oleh ayahnya untuk mendampinginya mengelola masjid. Kini, masjid cukup besar yang letaknya berdekatan dengan warga Betawi yang masih tersisa itu ditangani oleh H Nuh Thamrin, putra Abdillah Thamrin. Luasnya 1200 meter persegi.

Banyak sekali kegiatan di masjid yang dibangun dan dikelola keluarga pahlawan nasional Hoesni Thamrin itu. Hoesni Thamrin selama masa remaja telah ditempa semangat nasionalis. Ia sering melihat ayahnya menerima tokoh Sayarikat Islam (SI) HOS Tjokroaminoto. Pahhlawan Nasional Mohammad Hoesni Thamrin dilahirkan 16 Pebruari 1894 atau tiga tahun lebih tua dari Bung Karno, kawan seperjuangannya. Tempat kelahirannya di kawasan Sawah Besar, yang kini hiruk pikuk selama 24 jam, kala itu masih terletak di pinggiran kota Batavia.
Pada masa itu, selama seperempat abad, Batavia telah ikut menjalin perkembangan teknologi dunia. Pada 1869 Terusan Suez dibuka hingga mempercepat hubungan dari Eropa ke Asia, termasuk Indonesia. Telepon kabel telah diperkenalkan di Betawi yang menghubungkan dengan daerah-daerah lain, di samping beroperasinya kapal-kapal uap menggantikan kapal layar. Demikian pula jaringan listrik dan gas dengan dibukanya pabrik gas di Jl Ketapang, dekat Sawah Besar. Jl Ketapang, yang kini diubah jadi Jl KH Zainul Arifin -- yang merupakan kampung kelahiran ibu Hoesni Thamrin, Nurhamah -- terletak di sebelah selatan pabrik gas.
Sementara pelabuhan Tanjung Priok yang menggantikan Sunda Kelapa telah mampu melayani kapal-kapal samudera 8 tahun sebelum kelahiran Husni Thamrin. Akibat mudah dan singkatnya pelayaran dari Eropa ke Batavia, tidak heran pada saat itu mulai banyak berdatangan warga Belanda totok. Penduduk Eropa di Batavia pada 1860-1870 meningkat dari 5.000 menjadi 49.000. Sepuluh tahun kemudian menjadi 60 ribu (Bob Hering dalam buku Mohammad Hoesni Thamrin).
Di Jalan Sawah Besar No 32, tempat tinggal Hoesni Thamrin setelah berkeluarga, ia menghembuskan napas terakhirnuya, setelah beberapa hari sebelumnya kediamannya diperiksa oleh reserse PID. Kediamannya itu kini menjadi ruko yang menjual suku cabang bernama Sumatek. Meninggalnya Thamrin dengan cepat menyebar ke seantero kota. Saat pemakaman Ahad (12/1-1941) keesokan harinya, puluhan ribu warga Betawi berbondong-bondong memberikan penghormatan terakhir kepada pahlawan Betawi yang selalu membela rakyat kecil itu.
Menurut Hering, yang menyaksikan prosesi pemakaman tidak kurang 20 ribu sampai 30 ribu rakyat. Mereka memberikan penghormatan ketika kereta jenazah melewati Sawah Besar, Harmoni hinngga TPU Karet. Di antara para ulama yang mengantar termasuk Habib Ali Kwitang, yang membacakan talkin. Tempat pahlawan nasional ini menghembuskan nafas terakhir, sebelum jadi ruko dan pertokoan, pernah menjadi Percetakan Siliwangi, milik Pak Kartasasmita, ayah mantan menteri pertambangan Ginanjar Kartasasmita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar